Pengambilalihan perusahaan atau akuisisi merupakan strategi perusahaan untuk survive dari krisis ekonomi yang dihadapkan sebagai gejolak pasar kekinian. Berbagai strategi sebetulnya yang biasa dilakukan perusahaan dalam rangka bertahan pada situasi krisis pasar. Dalam strategi bertahan terdapat alternatif strategi yaitu turn around, (putar haluan), dirancang untuk mengatasi tren negatif perusahaan, melalui upaya meningkatkan laba dengan efisiensi operasional.
Namun, bila posisi bersaing perusahaan dalam industri lemah dan sulit mendapatkan pelanggan maka pilihannya adalah divestment, yakni manajemen menjual perusahaannya dalam mekanisme akuisisi maupun merger. Apabila perusahaan mengalami masalah keuangan, operasional, serta pemasaran dan kondisinya sangat lemah serta berada dalam industri yang tidak menarik sehingga tidak ada pihak yang berminat membeli perusahaan tersebut. Maka strategi yang dipilih adalah menyatakan bangkrut secara hukum agar perusahaan terbebas dari biaya klaim yang meningkat terutama dari pemegang saham dan para pekerja. Dalam keadaan perusahaan lemah selain strategi menyatakan bangkrut demi hukum umumnya perusahaan juga menggunakan strategi likuidasi atau menutup perusahaan, dengan maksud manajemen mengkonversi sebanyak mungkin aset dapat dijual cash, yang selanjutnya dibagikan kepada para pemilik modal setelah seluruh kewajiban perusahaan dilunasi yang salah satunya adalah menyelasaikan kewajiban pemenuhan pekerja yang ter-PHK.[1] Dari penjelasan di atas dapat dipahami ternyata apapun strategi yang dilakukan perusahaan selain akuisisi pastilah berdampak pada restrukturisasi perusahaan pada tingkat SDM atau lebih mengarah pada efisiensi tenaga kerja. Pada akhirnya efisiensi pekerja menjadi akibat hukum yang langsung dirasakan oleh para pekerja ketika dilakukan akuisisi. Efisiensi adalah langkah yang dilakukan pengusaha untuk lebih menghemat biaya produksi sehingga dapat mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Pengusaha dapat mengakhiri hubungan kerja dengan pekerja/buruh dengan alasan efisensi. Efisiensi dimaksud dilakukan oleh pengusaha dengan cara mengurangi sebagian atau beberapa pekerja/buruh yang dipekerjakannya. Langkah efisiensi di sini bukan karena perusahaan merugi atau teradapat keadaan force majeur melainkan karena alasan lain. Misalnya, berkurangnya volume pekerjaan yang mengakibatkan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan menjadi berkurang, atau adanya penggunaan teknologi yang mengakibatkan berkurangnya pemanfaatan tenaga manusia.
Maka berdasarkan pasal 164 ayat 3 UU No.13 Tahun 2003, perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi.[2] Tidak heran memang mengapa selalu pekerja yang dijadikan sasaran efisiensi disetiap perusahaan dan undang-undang membolehkan itu, karena memang dipandang dari sudut hukum bisnis efisiensi atau yang selanjutnya dikenal dengan perampingan terdapat dua pandangan terkait dengan pengurangan Sumber Daya Manusia, yaitu:[3] 1. Karyawan sebagai biaya yang dapat dipangkas, dalam perampingan organisasi, SDM dipandang sebagai komoditas, seperti microchips, yang dapat ditukar, digantikan, dan disubsitusi. Pertanyaan yang secara selalu muncul adalah ”Berapa jumlah karyawan yang dibutuhkan untuk mengoperasikan perusahaan ini? Berapa orang tenaga kerja yang dapat dikurangi agar sesuai kebutuhan perusahaan?” 2. Karyawan sebagai aset yang dapat dikembangkan, Pengurangan SDM merupakan proses restrukturisasi yang bertanggung jawab. SDM dipandang sebagai sumber inovasi dan pembaharuan sehingga pertanyaan yang terlontar adalah ”Bagaimana kita dapat mengubah cara bisnis sehingga kita dapat memanfaatkan SDM yang ada secara lebih efektif?” Dua pandangan di atas adalah pandangan yang saling kontradiktif. Karena pandangan satu menggambarkan nilai egois dari pengusaha yang tinggi, sementara pandangan kedua adalah pandangan yang baik karena pengusaha terus melakukan pencarian solusi untuk mengatasi SDM yang dianggap membebani biaya produksi. Namun, pada prakteknya kebanyakan perusahaan melakukan perampingan Sumber Daya Manusia karena pendekatan tenaga kerja sebagai biaya yang dapat dipangkas yang mana ini adalah pola pikir yang tidak baik.[4] Dari tinjauan ini hendaknya dapat menggugah para pengusaha untuk lebih baik lagi mensejahterakan perusahaan dan pekerja untuk menjaga iklim ketenagakerjaan dan investasi yang baik. [1] Nina Insania K. Permana dkk, Merancang PHK Yang Menguntungkan Semua Pihak, Cet-1, (Jakarta: Penerbit PPM, 2006), Hal. 14 [2] Edy Sutrisno Sidabutar, Pedoman Penyelesaian PHK, Cet-2, (Tangerang:Elpress, 2008), Hal. 16 [3] Nina Insania K. Permana dkk, Op.Cit., Hal. 17 [4] ibid,hlm 17
credit by dodi Oktarino
Namun, bila posisi bersaing perusahaan dalam industri lemah dan sulit mendapatkan pelanggan maka pilihannya adalah divestment, yakni manajemen menjual perusahaannya dalam mekanisme akuisisi maupun merger. Apabila perusahaan mengalami masalah keuangan, operasional, serta pemasaran dan kondisinya sangat lemah serta berada dalam industri yang tidak menarik sehingga tidak ada pihak yang berminat membeli perusahaan tersebut. Maka strategi yang dipilih adalah menyatakan bangkrut secara hukum agar perusahaan terbebas dari biaya klaim yang meningkat terutama dari pemegang saham dan para pekerja. Dalam keadaan perusahaan lemah selain strategi menyatakan bangkrut demi hukum umumnya perusahaan juga menggunakan strategi likuidasi atau menutup perusahaan, dengan maksud manajemen mengkonversi sebanyak mungkin aset dapat dijual cash, yang selanjutnya dibagikan kepada para pemilik modal setelah seluruh kewajiban perusahaan dilunasi yang salah satunya adalah menyelasaikan kewajiban pemenuhan pekerja yang ter-PHK.[1] Dari penjelasan di atas dapat dipahami ternyata apapun strategi yang dilakukan perusahaan selain akuisisi pastilah berdampak pada restrukturisasi perusahaan pada tingkat SDM atau lebih mengarah pada efisiensi tenaga kerja. Pada akhirnya efisiensi pekerja menjadi akibat hukum yang langsung dirasakan oleh para pekerja ketika dilakukan akuisisi. Efisiensi adalah langkah yang dilakukan pengusaha untuk lebih menghemat biaya produksi sehingga dapat mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Pengusaha dapat mengakhiri hubungan kerja dengan pekerja/buruh dengan alasan efisensi. Efisiensi dimaksud dilakukan oleh pengusaha dengan cara mengurangi sebagian atau beberapa pekerja/buruh yang dipekerjakannya. Langkah efisiensi di sini bukan karena perusahaan merugi atau teradapat keadaan force majeur melainkan karena alasan lain. Misalnya, berkurangnya volume pekerjaan yang mengakibatkan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan menjadi berkurang, atau adanya penggunaan teknologi yang mengakibatkan berkurangnya pemanfaatan tenaga manusia.
Maka berdasarkan pasal 164 ayat 3 UU No.13 Tahun 2003, perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi.[2] Tidak heran memang mengapa selalu pekerja yang dijadikan sasaran efisiensi disetiap perusahaan dan undang-undang membolehkan itu, karena memang dipandang dari sudut hukum bisnis efisiensi atau yang selanjutnya dikenal dengan perampingan terdapat dua pandangan terkait dengan pengurangan Sumber Daya Manusia, yaitu:[3] 1. Karyawan sebagai biaya yang dapat dipangkas, dalam perampingan organisasi, SDM dipandang sebagai komoditas, seperti microchips, yang dapat ditukar, digantikan, dan disubsitusi. Pertanyaan yang secara selalu muncul adalah ”Berapa jumlah karyawan yang dibutuhkan untuk mengoperasikan perusahaan ini? Berapa orang tenaga kerja yang dapat dikurangi agar sesuai kebutuhan perusahaan?” 2. Karyawan sebagai aset yang dapat dikembangkan, Pengurangan SDM merupakan proses restrukturisasi yang bertanggung jawab. SDM dipandang sebagai sumber inovasi dan pembaharuan sehingga pertanyaan yang terlontar adalah ”Bagaimana kita dapat mengubah cara bisnis sehingga kita dapat memanfaatkan SDM yang ada secara lebih efektif?” Dua pandangan di atas adalah pandangan yang saling kontradiktif. Karena pandangan satu menggambarkan nilai egois dari pengusaha yang tinggi, sementara pandangan kedua adalah pandangan yang baik karena pengusaha terus melakukan pencarian solusi untuk mengatasi SDM yang dianggap membebani biaya produksi. Namun, pada prakteknya kebanyakan perusahaan melakukan perampingan Sumber Daya Manusia karena pendekatan tenaga kerja sebagai biaya yang dapat dipangkas yang mana ini adalah pola pikir yang tidak baik.[4] Dari tinjauan ini hendaknya dapat menggugah para pengusaha untuk lebih baik lagi mensejahterakan perusahaan dan pekerja untuk menjaga iklim ketenagakerjaan dan investasi yang baik. [1] Nina Insania K. Permana dkk, Merancang PHK Yang Menguntungkan Semua Pihak, Cet-1, (Jakarta: Penerbit PPM, 2006), Hal. 14 [2] Edy Sutrisno Sidabutar, Pedoman Penyelesaian PHK, Cet-2, (Tangerang:Elpress, 2008), Hal. 16 [3] Nina Insania K. Permana dkk, Op.Cit., Hal. 17 [4] ibid,hlm 17
credit by dodi Oktarino
0 komentar:
Posting Komentar